Kamis, 28 Juli 2011

NYANYIAN PERBATASAN

Di dadaku petang,

dan cangkir ini patah kuping.



Sebelum beranjak ke bibirnya

tiba-tiba bijikepalaku berpindah

ke lembar kitab merah bertuliskan darah

mereka yang membujur kaku,kita tegak

menghidu sejuk nafas kekal di punggung Negeri



Bapak Negeri mati terbuang

setelah lantang ia teriak:

Merdeka!

Merdeka!

Merdeka!

:Percuma menukar darah dengan bendera,

belulang mendebu dalam ronggarongga tanah



Kami gulung nota sejarah dengan mata berair

semenjak lelah berdiri di akhir pekik

dalam lautan asa yang perlahan kembali surut

oleh keciap tangis anakku,anak tetangga sebelah

tersebab lendir di puting payudara ibu

kering terjilat musim



cangkir patah kuping ini kehabisan gula

sedang aku mengingat tentang hari,tanggal dan bulan persis tahun kelahiran ibuku,ketika hikmat

melahap semburan ludah dari atas podium

depan barisan kursi kursi pinjaman rakyat;

Berlembar pidato politik terbakar terik

di kaki tiang putih yang pada ujungnya

merahku tercabik,putihmu memudar



Di cangkir patah kuping ini kutandaskan petang

Bersama kopi pahit seduhan perempuanku.



Aku menarik selimut kumal

di dekat balai-balai,lampu duduk;

sebuah kaleng bekas susu kimia tertanggal kadaluarsa habis minyak

dengan terpaksa aku dan gulita bersetubuh tanpa sehelai pun cahaya bulan



Oh! Desaku tak sebinar kotamu,tuan

dimana para ikankoki tanpa kutang

mencari makanan dalam kotak-kotak berkaca

yang dada terutama daging bibirnya membara

bagaikan urat kabel listrik bertegangan tinggi



Air tanah,tanah berair meluap dari berpasang mata

wajah-wajah perbatasan tak pernah dicuci

Tidak ada komentar:

Posting Komentar