Di dadaku petang,
dan cangkir ini patah kuping.
Sebelum beranjak ke bibirnya
tiba-tiba bijikepalaku berpindah
ke lembar kitab merah bertuliskan darah
mereka yang membujur kaku,kita tegak
menghidu sejuk nafas kekal di punggung Negeri
Bapak Negeri mati terbuang
setelah lantang ia teriak:
Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!
:Percuma menukar darah dengan bendera,
belulang mendebu dalam ronggarongga tanah
Kami gulung nota sejarah dengan mata berair
semenjak lelah berdiri di akhir pekik
dalam lautan asa yang perlahan kembali surut
oleh keciap tangis anakku,anak tetangga sebelah
tersebab lendir di puting payudara ibu
kering terjilat musim
cangkir patah kuping ini kehabisan gula
sedang aku mengingat tentang hari,tanggal dan bulan persis tahun kelahiran ibuku,ketika hikmat
melahap semburan ludah dari atas podium
depan barisan kursi kursi pinjaman rakyat;
Berlembar pidato politik terbakar terik
di kaki tiang putih yang pada ujungnya
merahku tercabik,putihmu memudar
Di cangkir patah kuping ini kutandaskan petang
Bersama kopi pahit seduhan perempuanku.
Aku menarik selimut kumal
di dekat balai-balai,lampu duduk;
sebuah kaleng bekas susu kimia tertanggal kadaluarsa habis minyak
dengan terpaksa aku dan gulita bersetubuh tanpa sehelai pun cahaya bulan
Oh! Desaku tak sebinar kotamu,tuan
dimana para ikankoki tanpa kutang
mencari makanan dalam kotak-kotak berkaca
yang dada terutama daging bibirnya membara
bagaikan urat kabel listrik bertegangan tinggi
Air tanah,tanah berair meluap dari berpasang mata
wajah-wajah perbatasan tak pernah dicuci
Tidak ada komentar:
Posting Komentar