Membaca Kaki Waktu(sehimpun puisi 12 penyair perempuan muda Makasar)
oleh Tosa Poetra
Senang sangat membaca puisi-puisi yang terkumpul dalam buku Kaki Waktu, terbitan kendi aksara juni 2011, isbn 978-979-15833-9-0.
Bolak-balik saya baca buku yang dikuratori dan pengantari oleh M. Aan Mansyur tersebut, yang ditambahkan dengan endorsmen dari : Aslan Abidin, penyair sekaligus dosen FBS UNM Makasar dan Khrisna Pabichara, di sampul belakang.
Buku yang memuat 84 judul puisi karya 12 penyair perempuan muda Makasar tersebut begitu mengesankan saya, bagaimana tidak 12 perempuan muda Makasar yang setahu saya di antaranya guru bahasa Ingris, guru biologi, terlebih di sana ada Dalasari Pera, yang karya cerpenya telah saya kenal sejak 2010 kemarin.
Saya sangat merasa senang mengetahui ini semua, bung Karno dan bung Hatta pun saya rasa tersenyum juga, bagaimana tidak, jika hal sedemikian berlangsung dan terus berkembang maka cita-cita bangsa mencerdaskan kehidupan bangsa telah di ambang mata. 12 perempuan bersatu menulis dan menerbitkan antologi puisi, jika di setiap kota ada 12 perempuan seperti mereka, yang tahun depan akan membikin buku antologi tunggal semua, tentu dunia perbukuan dan kesusastraan Indonesia akan berjaya mengalahkan negeri manca.
Entah mesthi saya mulai apresiasi ini dari mana, yang tentunya saya tidak mengambil landasan teori dan sebagainya yang saya tidak bisa, toh dengan seperti ini saya pikir tidak masalah, sebab ini bukan apresiasi untuk kajian ilmiah, ini cuma kesenangan saya setelah menikmati buku tersebut, saya tidak banyak hafal puisi yang ada di sana, cuma beberapa selalu njangget di otak saya dan bikin jatuh cinta, semisal : telegram rindu yang ditulis Reni Purnama, di puisi tersebut kata yang sederhana telah disulap menjadi luar biasa, puisi yang mengisahkan kerinduan seorang ibu pada Samijun anaknya yang merantau, penulis melukiskan betapa rindu itu mencekam ibunda dengan menuliskan bahwa mata sang emak telah rabun, tak mampu lagi melihat rindu, sementara si anak menjawabnya dengan menyampaikan bahwa si anak minggu depan pulang membawa sepasang kaca mata untuk membaca rindu bersama, sungguh kontemplatif menurut saya, seolah melihat betapa kontemplatif sajak aku ingin karya Sapardi.
Demikian juga seorang Dalasari pera mengungkapkan tentang Amnesia seorang ibu yang telah lupa menaruh bola mata di daun pintu . . .,juga dalam puisi Mata bunting, dengan pengambilan diksi mata bunting tersebut tentu dapat dirasa, betapa sebenarnya kesedihan mendera, hingga terlalu banya menangis sampai mata menjadi bengkak, tapi penulis telah memilih kata bunting untuk penyebutan bengkak, sungguh diksi yang luar biasa menurut saya.
Masih banyak lagi keunikan dan keindahan yang disuguhkan Reni Purnama dan Dalasari pera juga 10 penulis lainnya yang tentu tak dapat saya terakan di catatan sederhana ini semua.
Dan saya pikir, silahkan pembaca mencari dan menikmati sendiri keindahan dalam buku tersebut yang saya rasa tentu tidak akan menyesal membaca, memiliki buku tersebut.
Hal tersebut jelas telah membikin saya makin jatuh cinta pada Makasar, pada Sulawesi selatan, Juga Jene Ponto dengan pantai karsut, dengan sejarah putri Tumanurung dari Arung keke, ah entah kapan kaki ini dibawa waktu menginjak ke sana.
Terakir saya sampaikan, selamat dan sukses pada Dalasari Pera, Reni Purnama, Andi Tenriola dan lainya, semoga terus eksis di dunia perpuisian Indonesia.
Hayo . . .yang lain dari Makasar, Dari pulau lain Indonesia, kapan menyusul, jangan mau kalah dengan mereka.
Salam Sastra Budaya.
Trenggalek, 14 Juli 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar