"SASTRA ERA 2010" DALAM BUKU KUMPULAN PUISI "INDONESIA BERKACA" : WACANA, RENCANA, ATAU SUDAH TERLAKSANA?
oleh Hadi Napster
Salam Sastra!
Adalah sebuah esai sekaligus kata pengantar dalam buku Kumpulan Puisi INDONESIA BERKACA --buku yang dimeriahkan oleh 36 penyair tua dan muda se-nusantara-- yang ditulis oleh seorang kawan bernama Toni Saputra dari Trenggalek, yang lantas membangkitkan keinginan saya untuk sekedar menulis sedikit pendapat (jika boleh dikatakan pendapat) melalui catatan ini.
Ya. Sebuah kata pengantar penuh semangat dan semoga saya tidak salah menganggapnya sebagai indikasi ataupun proklamir lahirnya periodisasi baru dalam dunia sastra, yakni Sastra Era 2010. Yang bisa jadi lantaran dalam esai prakata tersebut Sastra Era 2010 dinarasikan beberapa kali dengan sangat mantap dan penuh semangat, sehingga akhirnya setelah membacanya --usai menerima kiriman bukunya pada Rabu siang, 03 Agustus 2011-- saya merasa sangat penasaran dan terpanggil untuk sedikit mencari tahu akan apa dan bagaimana sebenarnya Sastra Era 2010 dimaksud?
Menilik soal waktu yang mengusung tahun 2010 sebagai kelahirannya, sudah pasti khalayak dapat meraba-raba bahwa sepanjang sejarah periodisasi sastra, maka era atau angkatan inilah yang paling bungsu, paling tidak hingga detik ini. Selanjutnya jika wacana lahirnya Sastra Era 2010 memang telah didengungkan, maka layaklah kiranya kita menyambut dan “mengapresiasi” (mengapresiasi dalam tanda petik) sebagaimana mestinya.
Di dalam pemahaman awam saya, Sastra Era 2010 sebagaimana disebutkan dalam prakata buku Kumpulan Puisi INDONESIA BERKACA yang disebut sebagai buku berisi 90% karya tulis (baca: puisi) penulis pemula, adalah kelanjutan dari wabah cybersastra. Dengan kata lain, merupakan efek transformasi baru dalam laju periodisasi kesusastraan bernama cybersastra yang mulai familiar dikenal sejak sekitar tahun 2000-an, kala budaya internet mewabah dalam geliat kehidupan sehari-hari di seantero negeri.
Tak dapat dipungkiri, bahwa kehadiran cybersastra --yang secara definitif dapat diartikan sebagai aktivitas sastra dengan memanfaatkan fasilitas komputer dan internet-- memang telah membawa dampak besar dalam dunia sastra. Laksana tamu tak diundang yang datang mengetuk pintu hati para penggiat, pemerhati, hingga peneliti sastra yang selama ini seakan terkunci. Meski oleh berbagai kalangan, diam-diam masih menjadi perdebatan, apakah kehadiran gaya baru bersastra ini membawa hal positif atau negatif? Lalu apa saja sebenarnya yang telah, sedang dan akan terjadi melalui cybersastra? Dan benarkah cybersastra sudah cukup kuat untuk menjadi pondasi bagi Sastra Era 2010?
Kembali pada esai prakata yang menuliskan dengan lugas bahwa telah lahir era baru dalam dunia sastra bernama Sastra Era 2010, disebutkan pula bahwa karya-karya Sastra Era 2010 tersebar di mana-mana (baca: berbagai media cetak dan internet), saya menjadi teringat pada periodisasi-periodisasi sastra sebelumnya. Yang tentu saja dicetuskan setelah melalui perjuangan panjang dan didasari komitmen bersama para pelaku sastra kala itu. Diakui atau tidak, namun sudah menjadi hal yang sangat pasti bahwa kontribusi para penggiat sastra melalui karya-karya mereka dari zaman ke zaman, berikut pengaruh seribu satu macam atmosfer kehidupan di sekitarlah yang memberikan andil besar dalam lahirnya periodisasi sastra.
Berawal dari Angkatan Pujangga Lama yang merupakan pengklasifikasian karya-karya sastra di Indonesia sebelum abad ke-20. Pada era ini, karya sastra jenis syair, pantun, gurindam, hikayat dan kitab sangat merajai kesusastraan nusantara. Pengaruh besar Islam dan budaya Melayu klasik juga turut menjadi bagian terpenting pada masa ini, sehingga di wilayah Sumatera bagian utara lahir karya-karya sastra bernafaskan Islam dalam bahasa Melayu. Adapun Angkatan Pujangga Lama melahirkan sastrawan-sastrawan terkemuka seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.
Langkah periodisasi sastra berlanjut pada tahun 1870-1942, di mana karya-karya sastra yang berkembang dalam lingkungan masyarakat Tionghoa dan Indo-Eropa di wilayah Sumatera seperti Minangkabau, Tapanuli, Langkat, dan daerah Sumatera lainnya, lantas mengukuhkan lahirnya Sastra Melayu Lama. Periodisasi ini ditandai dengan karya-karya sastra jenis syair, hikayat serta munculnya karya-karya terjemahan novel barat dari para sastrawan seperti Gouw Peng Liang, Thio Tjin Boen, G. Francis, HFR. Kommer, AF. van Dewall, Kat SJ., F. Wiggers, FDJ. Pangemanan, RM. Tirto Adhi Soerjo, Hadji Moekti, dan yang lainnya.
Lalu pada tahun 1920 kita mengenal Angkatan Balai Pustaka, yang merupakan periodisasi karya-karya sastra di Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Masa ini juga menjadi titik munculnya karya-karya sastra jenis puisi dan prosa (roman, novel, cerita pendek, dan drama) yang mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat, yang mana karya-karya sastra pada angkatan ini banyak dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19. Balai Pustaka sendiri --yang menerbitkan karya sastra dalam bahasa Melayu-Tinggi, Jawa, Sunda, Bali, Batak, dan Madura-- didirikan dengan tujuan mencegah pengaruh buruk dari bacaan-bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh Sastra Melayu Rendah pada masa itu. Adapun sastrawan yang lahir dari Angkatan Balai Pustaka semisal Nur Sutan Iskandar (yang juga disebut-sebut sebagai Raja Angkatan Balai Pustaka), serta sastrawan lain seperti Merari Siregar, Marah Roesli, Muhammad Yamin, Tulis Sutan Sati, Djamaluddin Adinegoro, Abas Soetan Pamoentjak, Abdul Muis, dan Aman Datuk Madjoindo.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya sekitar tahun 1930-1942, lahirlah Angkatan Pujangga Baru. Angkatan ini muncul sebagai reaksi terhadap banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya-karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan pada masa tersebut. Angkatan Pujangga Baru yang terbagi dua kelompok; (1) Kelompok "Seni untuk Seni" (dipelopori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah, (2) Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" (dipelopori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi), disebut sebagai sastra elitis, intelektual, dan nasionalistik. Angkatan ini juga ditandai dengan terbitnya Majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Tengku Amir Hamzah dan Armijn Pane. Dari angkatan ini kita mengenal nama-nama sastrawan besar seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Hamka, Armijn Pane, Tengku Amir Hamzah, Sanusi Pane, Roestam Effendi, Sariamin Ismail, Anak Agung Pandji Tisna, JE. Tatengkeng, Said Daeng Muntu dan Karim Halim.
Tahun 1945 menjadi masa kelahiran angkatan selanjutnya. Ya, Angkatan ’45 yang dipicu oleh gejolak sosial-politik-budaya dan banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan pada masa itu. Angkatan ini dianggap lebih realistik dibanding Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik. Adalah konsep seni berjudul "Surat Kepercayaan Gelanggang" yang menjadi pernyataan para sastrawan Angkatan ’45 perihal keinginan untuk bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Adapun nama-nama besar yang lahir di masa ini seperti Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Achdiat K. Mihardja, Trisno Sumardjo, Utuy Tatang Sontani, dan Suman HS.
Selanjutnya adalah Angkatan 1950-1960-an yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi, serta ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah yang diasuh oleh HB. Jassin. Munculnya gerakan komunis dengan konsep realisme-sosialis di kalangan sastrawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra), menjadi penyebab perpecahan dan polemik berkepanjangan di antara para sastrawan, sehingga mempengaruhi perkembangan sastra secara keseluruhan. Terlebih dengan adanya pengaruh politik praktis, yang berujung pada tahun 1965 dengan pecahnya G-30S di Indonesia. Sastrawan-sastrawan yang lahir dari angkatan ini seperti Pramoedya Ananta Toer, Nurhayati Dini (Nh. Dini), Mochtar Lubis, Marius Ramis Dayoh, Ajip Rosidi, Ali Akbar Navis, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH., WS. Rendra, Subagio Sastrowardojo, Nugroho Notosusanto, Trisnojuwono, Toha Mochtar, dan Purnawan Tjondronagaro.
Majalah sastra Horison pimpinan Mochtar Lubis adalah tanda kelahiran angkatan berikutnya, yakni Angkatan 1966-1970-an. Beragam aliran sastra juga merupakan bagian angkatan ini, mulai dari surealistik, arus kesadaran, arketip, dan absurd. Yang dalam proses penerbitannya banyak dibantu oleh Pustaka Jaya. Beberapa sastrawan angkatan 1950-an juga masuk dalam kelompok ini, seperti Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Satyagraha Hoerip Soeprobo, termasuk paus sastra Indonesia, HB. Jassin. Beberapa satrawan yang dikenal dari angkatan ini di antaranya Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, MA. Salmoen, Iwan Simatupang, Wisran Hadi, Ismail Marahimin, Harijadi S. Hartowardojo, Wildan Yatim, Mahbub Djunaidi, Kuntowijoyo, Parakitri T. Simbolon, Titis Basino, Putu Wijaya, Nasjah Djamin, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Taufik Ismail, Abdul Hadi WM., Sapardi Djoko Damono, dan banyak lagi yang lainnya.
Lain pula halnya dengan Angkatan 1980-1990-an yang diwarnai tumbuhnya sastra beraliran pop dengan lahirnya sejumlah novel populer, seperti serial Lupus yang dikarang oleh Hilman Hariwijaya. Pada masa ini sastrawan-sastrawan wanita juga sangat menonjol lewat roman-roman percintaan yang tersebar di berbagai majalah dan penerbitan umum. Sebut saja misalnya Nh. Dini, salah satu sastrawan wanita Indonesia dengan novel-novel yang memiliki ciri khas kuatnya pengaruh budaya barat, di mana tokoh utama cenderung dikisahkan mempunyai konflik dengan pemikiran timur. Sastrawan lain yang juga menonjol pada masa ini adalah Mira W. Dan Marga T. dengan fiksi romantis dalam novel-novel karya mereka. Sastrawan-sastrawan yang mewakili lahirnya angkatan ini seperti Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, Gustaf Rizal, Arswendo Atmowiloto, Sindhunata, Darman Moenir, YB. Mangunwijaya, Ahmadun Yosi Herfanda, dan Tajuddin Noor Ganie. Pada masa ini juga muncul beberapa nama dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dimotori oleh Titie Said, di antaranya La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka Rusmini.
Maraknya karya-karya sastra berupa puisi, cerpen, maupun novel bertema sosial-politik yang dilatarbelakangi oleh pergeseran kekuasaan --yang diawali dengan proses reformasi pada tahun 1998-- menjadi alasan utama munculnya wacana Sastrawan Angkatan Reformasi sebagai angkatan sastra selanjutnya. Tak urung, pada masa ini harian Republika membuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi selama beberapa bulan. Penerbitan buku antologi puisi serta pentas-pentas pembacaan sajak pun didominasi oleh tema-tema sosial-politik. Semua itu adalah bentuk refleksi keadaan sosial dan politik oleh para sastrawan Angkatan Reformasi seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Widji Thukul adalah salah satu sastrawan yang cukup menonjol lewat karyanya pada masa reformasi. Termasuk penyair-penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat yang semula jauh dari tema social-politik, turut serta meramaikan suasana lewat sajak-sajak mereka.
Namun lantaran tidak memiliki juru bicara (sebagaimana tertulis dalam beberapa buku yang memuat sejarah periodisasi sastra), wacana tentang lahirnya Sastrawan Angkatan Reformasi tidak berhasil dikukuhkan. Hal ini lalu ditindaklanjuti oleh Korrie Layun Rampan yang melempar wacana lahirnya Sastrawan Angkatan 2000 dengan menyusun sebuah buku tebal bertajuk “Sastra Indonesia Angkatan 2000” yang mengkategorikan seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra ke dalam angkatan ini. Termasuk di antaranya para sastrawan yang sudah mulai menulis sejak tahun 1980-an, semisal Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma. Juga beberapa sastrawan yang muncul pada akhir tahun 1990-an, seperti Ayu Utami dan Dorothea Rosa Herliany. Beberapa sastrawan ternama lainnya yang juga digolongkan ke dalam angkatan ini adalah Seno Gumira Ajidarma, Dewi Lestari, Andrea Hirata, Habiburrahman El Shirazy, Dimas Arika Mihardja dan banyak lagi sastrawan lainnya.
Nah, menilik satu per satu periodisasi sastra di atas, tentu dapat disimpulkan bahwa lahirnya sebuah angkatan baru dalam dunia sastra tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak hal dan faktor yang mendasari. Memang, melempar sebuah wacana kepada khalayak adalah hal yang sangat sederhana dan bisa saja dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi tingkatan sederhana tadi dengan sendirinya akan berubah menjadi tidak sederhana lagi manakala sebuah wacana telah menuntut adanya konsep substansial dan representatif sebagai pondasi. Sampai pada tahapan ini, beberapa pertanyaan tentu tak dapat dielakkan dan harus dijawab dengan sungguh-sungguh; Benarkah Sastra Era 2010 telah lahir? Kapan dan di mana dicetuskan? Apa konsep dasar serta visi-misinya dalam dunia sastra? Sudah seberapa besar andilnya dalam perkembangan sastra? Siapa saja sastrawan yang termasuk di dalamnya? Lalu karya-karya mana saja yang layak dikategorikan sebagai Sastra Era 2010?
Pada kesimpulannya, apapun kenyataan yang ada, sastra tetap harus berterima kasih kepada cybersastra. Karena kehadirannya yang telah membawa warna baru dalam dunia sastra. Meski masih ada saja kalangan yang beranggapan bahwa cybersastra hanyalah konsumsi segelintir orang frustrasi yang hendak menumpahkan unek-unek dalam hati melalui tulisan. Namun kenyataannya kini berbeda, cybersastra telah merambah ke seluruh lapisan penggiat sastra tanpa memandang usia, status sosial maupun jam terbang dalam bersastra. Pun jika harus mengkilik-kilik andil nyata cybersastra terhadap perkembangan sastra, maka secara umum barangkali dapat dikedepankan pernyataan Budianta, dkk. (2004:24); bahwa semua pihak yang terkait dengan reproduksi dan produksi sastra akan sangat menentukan perkembangan sastra.
Jadi, sekali lagi saya mengajak kepada para pelaku pun pemerhati sastra, khususnya kawan-kawan yang telah menyerukan lahirnya Sastra Era 2010 melalui Antologi Puisi INDONESIA BERKACA --saya anggap kata pengantar buku tersebut sebagai sebuah kebulatan tekad yang mewakili seluruh penyair di dalamnya-- untuk kembali mencari tahu, mengkaji perlahan-lahan dengan kepala dingin, perihal asal-usul Sastra Era 2010 yang sebenarnya. Setelah itu baru merancang konsep, menata visi dan misi, pun merangkai maksud dan tujuan, yang mau tidak mau wajib dibukukan demi mengawal perjalanan Sastra Era 2010 itu sendiri. Terutama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan timbul seiring perjalanannya. Sebab bagaimanapun juga, segala sesuatu yang lahir dari zaman, tentu akan tertulis oleh zaman sebagai sejarah, dan kelak akan kembali dibaca oleh zaman. Dan bukan hanya lantaran saya termasuk salah seorang yang mulai belajar menulis dalam kurun waktu yang persis bersamaan dengan masa munculnya cybersastra --yang juga merupakan cikal bakal kelahiran Sastra Era 2010, jika memang demikian-- sehingga saya berpendapat seperti ini. Akan tetapi lebih karena kita semua tentu tidak ingin wacana lahirnya Sastra Era 2010 hanya sekedar omong kosong melompong dalam sejarah kesusastraan Indonesia.
Akhir kata, betapapun banyaknya pendapat, asumsi, opini, atau apapun namanya perihal sastra, toh tetap saja melangkah bersama adalah lebih baik. Dengan satu tujuan tentunya: kejayaan Sastra Indonesia tercinta! Bagaimana menurut kawan sekalian?
Bandung, Agustus 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar