MEMBACA HUJAN DERAS PADA SAJAK YANG MENGALIR
(Penjara) Kamar
oleh Hoo Jan d'Ras pada 27 Juli 2011 jam 5:41
dengus
hembus
angin menembus
jendela kamar
di pagiku yang masih gelap
belaiannya menerbangkan
buluku ke kampung halaman
permaisuri duduk di takhtaku
memenjara di lingkaran waktu
mentari lupa aku sinarnya
melati lupa aku harumnya
merah lupa aku warnanya
bahkan
aku lupa bilangan telah berlalu
tertindas roda kehidupan
terbelit lilit putaran bumi
sekulum senyum lalu menari
indah membekas di atas air telaga
tanpa angin, tanpa riak
masih jelas tergambar
akan dendang sejumlah nama
aku terancam pada arah panah
"lari!"
"hadapi!"
"ratapi!"
masih juga aku di sini
tanpa gerak, tanpa puisi
nafasmu
bangunkanlah aku!
{dps, 27/7/11}
Perkenalanku yang sederhana dengan seorang sahabat, Hoo Jan d’Ras namanya, berarti membingkai karya-karyanya sebagai pelajaran dalam memaknai kehidupan dan proses sosial dalam puisi. Tanpa latar belakang kesejarahan yang diketahui secara pasti, saya teringat pada sebuah percakapan ringan kami dalam sebuah komentar tentang foto teater Yaoma yang dimuat di facebook. “Penggelar KeberHitam dalam pementasan berarti betugas sebagai sutradara mas” demikianlah komentarnya yang singkat. Selanjutnya saya mengetahui bahwa sahabat Hoo Jan d’Ras (HJd) ini adalah seorang pegiat seni drama atau teater.
Larik-larik sajak yang tersusun dengan unik pada puisi berjudul (Penjara) Kamar ini adalah salah satu karya HJd yang dikirimkan kepada saya beberapa waktu yang lalu. Mencermati puisi dengan bentuk sajak bebas seperti ini, penulisnya telah berhasil mengikat imajinasi pembaca dengan enjabemen yang terikat kuat. Pertanyaan mulai timbul setelah berusaha mencari petunjuk dalam setiap makna yang diracik dalam setiap larik sajak ini. Menggunakan judul sebagai kunci untuk membuka sebuah karya adalah metode yang dapat digunakan dalam menggali makna puisi (Abrams).
Judul yang dipilih oleh HJd cukup unik /(Penjara) Kamar/, seolah-olah sebuah kalimat terpisah oleh dua bagian yaitu “Penjara” yang memiliki makna tersendiri dan “Kamar” sebagai rangkaian artikulasi yang dibentuk oleh kata Penjara. Apakah memang tulisan HJd ini berkisah tentang penjara dalam kamar? Mari kita cermati rangkaian makna dalam larik-larik selanjutnya.
//dengus//hembus//angin menembus/jendela kamar/di pagiku yang masih gelap//
Bait ini terdiri dari 5 larik, dengan 2 larik yang terdiri dari sepatah kata, diikuti dengan 2 larik selanjutnya yang ditulis dengan 1 kalimat yang terdiri dari 2 kata. Bait ini kemudian diakhiri dengan 3 kata dasar dan 1 kata yang berimbuhan. Penataan larik larik tersebut cukup menarik, mengingat penulisan larik ke-4 dan ke-5 sedikit bergeser ke tengah. Hal ini telah lama digunakan oleh penyair dan pemuisi modern dalam menyampaikan makna. Pembaca akan dibawa kepada makna-makna baru, setelah teks itu lahir dan tumbuh bersama imajinasi pembacanya (Saussure). Sebuah sajak yang ditulis oleh SDD (Sapardi Djoko Damono) yang berjudul “akuarium” pada kumpulan sajak Mata Pisau (1982), juga membentuk susunan yang ajaib seperti ini, namun hadir dengan performa yang lebih unggul.
Penataan penggalan larik untuk membentuk larik baru yang dilakukan oleh HJd bukanlah suatu penataan yang semata-mata berusaha membentuk efek dramatis dari estetika penulisan puisi. Jika dicermati larik ke-3 dan ke-4 adalah gabungan satu frasa :
//Angin menembus jendela kamar di pagiku yang masih gelap //
Dengan pembacaan yang sepintas akan muncul sebuah pernyataan : Penulis menggunakan Angin sebagai metafora untuk menjelaskan situasi yang melingkupi saat sajak ini dituliskan. Benarkah demikian ?. Mencermati bait pertama dan kedua, seluruh larik dituliskan dari sudut pandang orang pertama, namun yang dikisahkan pada bait tersebut bukanlah semata-mata cerita tentang sang Angin. Melainkan subjek yang mendengus, berhembus dan berada di dalam kamar saat hari masih gelap. Subjek ini bukanlah angin, namun ia adalah “seseorang” yang belaiannya membuat si bulu terbang ke kampung halaman. Larik terakhir pada bait pertama tersebut adalah pengikat makna untuk menterjemahkan kata-kata di bait yang kedua :
belaiannya menerbangkan
buluku ke kampung halaman
permaisuri duduk di takhtaku
memenjara di lingkaran waktu
Setelah jelas bahwa subjek pada bait pertama ini bukanlah angin, namun “seseorang” permaisuri yang duduk di “takhta” dan mampu membawa penulis pulang ke kampung halaman. Maka memaknai metafora yang dipilih dalam puisi ini akan membawa kita pada perjalanan hidup HJd di tanah perantauan, meninggalkan kampung halaman. Kampung halaman adalah istilah yang muncul dalam budaya rumpun Melayu dan Asia timur. Tidak ditemukan istilah tersebut pada peradaban lain seperti Eropa, Arab jazirah, Indian, dsb. Pada peradaban yang lain kita akan menemukan istilah “mother land” tanah air, atau “home land” yang lebih bermakna : kota tempat asal muasal sesorang. Pada peradaban Hindustan yang juga memiliki banyak kosakata untuk mengistilahkan tempat tinggal asal, belum ditemukan istiah derngan makna yang setara dengan “kampung halaman”. “Ghara” (jha_drua)cenderung diartikan sebagai rumah tempat kelahiran. Istilah kampung halaman lebih memiliki artikulasi romantika masa lalu, tempat lahir tumbuh dan kembang, yang oleh para perantau melayu bahkan menjadi tempat peristirahatan terakhir (Van Earp).
Hingga bait kedua, penjelajahan saya untuk mengkaji puisi HJd ini semakin membara. Sampai di bait ke 3 yang berbunyi :
mentari lupa aku sinarnya
melati lupa aku harumnya
merah lupa aku warnanya
Pembaca sulit memahami apakah 3 larik tersebut adalah ungkapan penulis tentang masa kanak-kanak, atau masa-pencarian jati diri. Namun makna yang terikat dalam larik ini memang tidak berada dalam wilayah gelap terang dalam pengartian kata dan makna. Patut dicermati bahwa penulis memilih diksi mentari, melati dan merah. Ketiga kata tesebut telah digunakan sejak lama oleh penyair nusantara untuk mewakili kata sifat yang terikat dalam jiwa manusia. Jika diijinkan untuk menterjemahkan secara bebas :
mentari lupa aku sinarnya
(harapan_aku lupa pernah berharap)
melati lupa aku harumnya
(kesucian_aku lupa pernah merindukannya)
merah lupa aku warnanya
(perlawanan_aku lupa dulu selalu berlawan)
Jika saja HJd tidak memberikan rambu-rambu yang sangat indah pada bait selanjutnya, niscaya pembaca akan memilih belokan yang lain dan tidak mencapai tempat pemberhentian makna yang sesungguhnya. Sekali lagi bait ke-empat hadir dengan penulisan frasa yang dipenggal secara menakjubkan dan ajaib :
//bahkan/aku lupa bilangan telah berlalu/tertindas roda kehidupan/terbelit lilit putaran bumi//
Dituliskan dalam 4 larik yang termasuk dalam 1 frasa, kembali muncul sebuah pertanyaan : Siapakah “aku” yang dimaksud pada bait ini? Dengan penggalan penggalan yang unik HJd telah menyuguhkan percakapan antara 2 orang yang berbeda dalam sebuah puisi. Pilihan bahasa yang sederhana, tanpa hingar bingar avan garde ternyata mampu menghadirkan lanskap kesunyian dalam ruang penjara psikologis yang diciptakan dalam dialog 2 anak manusia. Penjara tidak lagi hadir sebagai batas antara ruang waktu dengan kebebasan, namun penjara dalam tulisan HJd telah mampu menyuguhkan sekelumit proses dalam mencari kesejatian makna kehidupan.
HJd telah mengadirkan dialog antara “aku” (sang penulis) yang mengungkapkan perempuan (permaisuri) sebagai angin. Kemudian dengan pemenggalan frasa yang cantik, HJd telah menjelma sebagai permaisuri yang berkisah tentang suatu masa penuh pengharapan, kesucian dan pergulatan. Seiring usia yang bertambah, menjalani fase kehidupan dengan penuh perjuangan untuk kemudian terbelit dengan rutinitas yang diciptakan pada alam metro dan modern.
Tidak berlebihan jika larik ke-4 pada bait ke-4 tersebut adalah gerbang pembuka makna bagi pembaca untuk menerima makna-makna yang tidak terikat pada bait selanjutnya. /terbelit lilit di putaran bumi//. Putaran bumi saat ini ditandai oleh manusia lewat takaran dan satuan. Waktu dan jarak yang pernah diidentifikasi sebagai dimansi tambahan untuk memudahkan aktivitas manusia kini telah menjadi belenggu yang baru, dengan alat-alat bantu yang menciptakan keterasingan dan keterbatasan antara hubungan manusia yang satu dengan yang lain. Peradaban di muka bumi telah “melilit” dan “membelit” HJd dan memenjarakan dirinya setelah mencari kesejatian makna sepanjang kehidupan. Tegur sapa lewat alat komunikasi modern ternyata melupakan kita untuk melihat sebuah dunia nyata dibalik dinding dunia maya yang tergambar dan terekam dalam memori kita. HJd telah berhasil merangkai makna tersebut dengan meninggalkan rambu-rambu yang mengantarkan kita untuk memahami makna puisi. Puisi yang berkisah tentang keterasingan manusia di antara hiruk pikuk peradaban.
“(Penjara) Kamar” telah berhasil membangun imajinasi pembaca untuk kembali pada sebuah masa saat mentari, melati dan merah masih mempunyai arti. Jika WS. Rendra adalah penyair burung merak yang mengembalikan puisi kepada kalimat dan memperkosa soneta dengan sihirnya (Wing Karjo), maka HJd termasuk penyair yang mengembalikan puisi kepada keseluruhan bait. Dengan membangun sebuah hubungan yang kuat antar bait, dan setia pada bentuk-bentuk yang tidak mengikat pada kehadiran sebuah sajak. Genre sajak bebas memang pilihan yang cukup rumit bagi seorang pemuisi. Saat rangkaian baitnya ditulis dengan instan, maka kedalaman makna yang terlahir dalam sebuah puisi akan gagal mengukir imajinasi pembaca menuju ruang yang diharapkan oleh penulis. Namun alangkah baiknya jika tinjauan atas puisi ini tidak membicarakan genre, sebagaimana kata SDD (Sapardi Djoko Damono) pada ulasan “Membaca Lima Sajak Sapardi” yang digawangi oleh Melanie Budianta : Beliau (SDD) menyatakan bahwa pemilahan puisi dalam genre tidak sebaiknya dilakukan”. Meskipun demikian, sebagai penulis SDD ternyata setia dengan genre soneta yang menggunakan gaya italia dan inggris, pun juga pada gaya sonetanya sendiri yang terdiri dari 14 larik 1 bait dengan rima (aaaa). Sebuah epigram bergaya soneta.
HJd telah menuliskan 29 larik pada sajak bebasnya. Dan baiit ke 5 sampai terakhir adalah pamungkas dari lanskap kesunyian penjara yang dibangun dalam setiap bait sajaknya. Saat perenungan seorang penyair telah mencapai titik nadir, maka langkah nyata yang harus dipilih ternyata masih menyisakan perdebatan.
Dengan menggunakan kosakata yang sederhana, namun terikat erat pada setiap struktur makna dan penulisannya, puisi HJd telah berhasil membuktikan bahwa sebuah puisi imajis telah dapat hadir sebagai ruang untuk menggali apresiasi dari pembacanya. Sebagaimana kata Goenawan Moehamad : puisi imajis adalah ungkapan penulis yang berawal dari sebuah imajinasi namun mampu mengikat pembacanya lewat setiap kata-kata yang hadir seperti mantera”. Sebuah sajak bebas terbebas dari penjara kamar Hoo Jan d’Ras.
Akhir kata, sepatah kata maaf hadir pada seluruh pemerhati sastra. Ulasan ini dilakukan hanya berdasarkan pengalaman yang diperoleh secara otodidak. Tanpa bermaksud untuk menyinggung penulis puisi ini, ulasan ini semata mata hanya bermaksud untuk membingkai karya seorang sahabat yang sangat bermakna.
Salam Satu Jiwa!
(Lingsir Wengi Guntono)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar